Rabu, 10 Agustus 2016

Teh Hijau Sebagai Antibakteri



Teh merupakan salah satu tumbuhan yang populer di dunia. Tanaman teh tumbuh dengan baik di daerah tropis dan sub tropis. Teh dibuat dari pucuk daun muda tanaman Camelia sinesis L (Gambar 1). Teh adalah minuman yang paling banyak dikonsumsi di dunia kedua setelah air. Tanaman teh dibagi menjadi empat jenis yaitu teh hijau, teh putih, teh oolong dan teh hitam. Perbedaan pada keempat jenis teh tersebut adalah dalam proses fermentasinya. Teh hijau mengalami proses panas segera setelah proses panen, hal ini ditujukan untuk mencegah katekin mengalami proses oksidasi, teh putih terbuat dari daun teh yang sangat muda atau tunas, sedangkan teh oolong dilakukan proses fermentasi secara singkat dan teh hitam dilakukan proses fermentasi secara penuh (Mostafa, 2014; Gupta, dkk., 2014; Jigisha, dkk., 2012).
Pucuk daun teh hijau PT.Kemuning Karanganyar (Diadops dari Disertasi Naniek Widyaningrum, 2013) 
Tanaman teh jenis Camellia sinensis PT.Kemuning Karanganyar (Diadops dari Disertasi Naniek Widyaningrum, 2013)

Pada saat panen, daun teh mengandung senyawa katekin dengan kadar yang tinggi, katekin ini termasuk golongan polifenol, dengan sifat katekin yang mudah terdegradasi oleh panas, maka kandungan katekin pada berbagai jenis teh berbeda.
Aktivitas antibakteri dapat dibedakan berdasarkan mekanisme kerjanya yaitu mekanisme kerja melalui penghambatan sintesis dinding sel, melalui hambatan fungsi membran sel, melalui perubahan polaritas permukaan protein dan menghambat sintesis protein, serta melalui hambatan sintesis asam nukleat. Mekanisme kerja EGCG sebagai antibakteri yaitu  mengubah polaritas permukaan protein dan secara reversibel menghambat β-ketoasil-(asil protein pembawa) reduktase dari bakteri, memodifikasi enzim protein diikuti oleh agregasi sehingga menyebabkan kematian bakteri (Bing-Hui Li dkk., 2006). EGCG merupakan golongan flavan turunan fenol bekerja sebagai antiseptik dan desifektan dengan cara mendenaturasi dan mengkoagulasi protein sel bakteri. Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorbsi yang melibatkan ikatan hidrogen diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi, denaturasi dan koagulasi protein sehingga membran sel mengalami lisis. Turunan fenol juga dapat mengubah permeabilitas membran sel bakteri, dapat menimbulkan kebocoran konstituen sel yang essensial sehingga bakteri mengalami kematian.
Bakteri memiliki 70S ribosom, sedangkan sel mamalia termasuk manusia memiliki 80S ribosom. Subunit masing-masing tipe ribosom, komposisi kimianya dan spesifikasi fungsinya berbeda, sehingga dapat menerangkan bahwa antibakteri dapat menghambat sintesis protein dalam ribosom bakteri tanpa berpengaruh pada ribosom mamalia.
Penelitian lain menyatakan bahwa Epigallocathechin gallate pada daun teh hijau EGCG  merupakan agen bakterisida yang efektif terhadap strain Acinetobacter baumanii yang resisten terhadap antibiotik (Osterburg dkk., 2009). EGCG secara signifikan juga dapat mengurangi sebum jerawat dalam 8 minggu (Yoon dkk., 2013).
Teh hijau juga berfungsi sebagai antioksidan, anti inflamasi, anti kanker, kesehatan jantung, kesehatan mulut, dan sebagai antibakteri. Efek antioksidan yang berasal dari teh hijau yaitu dengan membatasi jumlah radikal bebas dengan cara mengikat spesies oksigen reaktif (ROS) (Gupta dkk., 2014; Jigisha et al, 2012.; Reygaert, 2014). Teh hijau juga berkhasiat sebagai anti kanker, dengan mekanisme menghambat angiogenesis dan pertumbuhan sel kanker (Jigisha, dkk., 2012; Reygaert, 2014; Subramani dan Natesh, 2013).
Teh hijau juga memiliki efek kesehatan bagi mulut, gigi dan gusi. Penyebab utama dari karies gigi adalah bakteri Streptococcus mutans dan teh hijau mampu membunuh bakteri tersebut, selain itu teh hijau adalah sumber alami fluorida sehingga dapat menjaga kesehatan mulut secara keseluruhan (Gupta, dkk., 2014; Jigisha,dkk., 2012)
Teh hijau memiliki efek antibakteri terhadap berbagai Gram positif dan bakteri Gram negatif seperti Escherichia coli, Salmonella spp., Staphylococcus aureus, Enterococcus sp., beberapa jamur (Candida albicans), dan berbagai virus (misalnya HIV, herpes simpleks, influenza) (Jigisha dkk., 2012; Steinmann dkk., 2013). Teh hijau dengan kombinasi tanaman lotus dapat menurunkan aktivitas sebum pada kelenjar sebasea (Mahmood dkk., 2013), teh hijau konsentrasi 3% dapat mengurangi pigmentasi dan iritasi pada kulit (Akhtar dkk., 2011).
EGCG pada daun teh hijau merupakan senyawa flavonoid golongan flavan. Menurut Nagle, dkk. (2006), Butt dan Sultan. (2009) jenis polifenol dalam teh hijau adalah EGCG, epicatechin (EC), epicatechin gallate (ECG) dan epigallocatechin (EGC) dengan kandungan masing-masing polifenol dalam teh hijau adalah EGCG (51,88%), EC (12,24%), ECG (6,12%) dan EGC (5,5%). Berdasarkan keempat jenis polifenol, EGCG merupakan zat yang paling bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakteri.
Teh hijau yang diseduh memberikan warna hijau kekuningan, sedangkan teh oolong memberikan warna kemerahan dan teh hitam memberikan warna kecoklatan. Hal ini disebabkan proses oksidasi pada teh hijau adalah ikatan depsidik yang bersifat reversibel, sedangkan proses oksidasi pada teh oolong dan teh hitam yang mengalami proses fermentasi, sifat oksidasinya berupa kondensasi oksidatif yang bersifat irreversibel (Mizooku, 2003). EGCG dapat terjadi perubahan warna menjadi kuning pada kondisi pH yang lebih tinggi dalam larutan air. Berdasarkan penelitian Mizooku (2003) proses oksidasi yang dianalisis dengan liquid chromatography/electrospray ionization tandem mass spectrometry (LC/ESI-MS/MS) ditemukan hubungan struktur EGCG yang melibatkan reaksi perubahan warna pada kondisi pH yang berbeda. Oksidasi ditemukan sesuai dengan M + 14 (di mana M adalah berat molekul EGCG), EGCG melepaskan dua atom hidrogen dan mengikat satu atom oksigen ke bagian galloyl di cincin B yang bersifat reversibel, sedangkan proses kondensasi oksidatif catechin (dasar terbentuknya zat samak merah apabila terjadi reaksi) pada teh hitam dan teh oolong bersifat irreversibel. 
  Berdasarkan penelitian sebelumnya, mekanisme EGCG dalam membunuh bakteri yaitu EGCG   memiliki daya bunuh bakteri dengan cara reversibel menghambat β-ketoasil-[asil protein pembawa] reduktase (FabG) dari bakteri Escherichia coli. EGCG dapat memodifikasi enzim (FabG) diikuti oleh agregasi dari protein, hal ini disebabkan karena EGCG mengubah polaritas permukaan protein (Bing-Hui Li dkk., 2006).

 

Note : Sebagai bagian dari tugas pelatihan applied approach


Tidak ada komentar:

Posting Komentar